Buta Warna - Pengertian, Klasifikasi, Faktor Penyebab dan Uji Tes

Buta warna (colour blind) adalah suatu kelainan atau gangguan pada mata yang memiliki kelemahan penglihatan warna disebabkan ketidakmampuan sel-sel kerucut mata untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu sehingga warna yang dilihat tidak terlihat sesuai dengan warna yang dilihat mata normal. Buta warna merupakan penyakit kelainan mata yang ditentukan oleh gen resesif pada kromosom seks, khususnya terpaut pada kromosom X atau kondisi ketika sel-sel retina tidak mampu merespon warna dengan semestinya.

Buta Warna (Pengertian, Klasifikasi, Faktor Penyebab dan Uji Tes)

Orang yang mengalami buta warna tidak hanya melihat warna hitam putih saja, tetapi yang terjadi adalah kelemahan/penurunan pada penglihatan warna-warna tertentu misalnya kelemahan pada warna merah, hijau, kuning, dan biru. Buta warna permanen biasanya terjadi karena faktor keturunan. Sedangkan orang yang tidak mengalami buta warna dapat mengalami buta warna apabila terjadi faktor-faktor tertentu seperti kecelakaan.

Berikut definisi dan pengertian buta warna dari beberapa sumber buku: 

  • Menurut Widianingsih (2010), buta warna adalah orang yang memiliki kelemahan penglihatan warna, mengalami kelainan terhadap satu sel kerucut atau sel kerucut memiliki tingkat penyerapan gelombang cahaya yang berbeda dari orang mata normal. 
  • Menurut Zenny (2012), buta warna adalah suatu kelainan yang disebabkan ketidakmampuan sel-sel kerucut mata untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu sehingga warna yang kita lihat tidak terlihat sesuai dengan warna yang dilihat mata normal.
  • Menurut Ilyas (2002), buta warna adalah suatu gangguan penglihatan warna yang disebabkan oleh ketidakmampuan sel-sel kerucut mata untuk menangkap suatu spektrum warna. Penderita tidak dapat atau kurang mampu membedakan warna yang terjadi secara kongenital ataupun didapat akibat penyakit tertentu. 
  • Menurut Akbari (2011), buta warna adalah penyakit kelainan pada mata yang ditentukan oleh gen resesif pada kromosom seks, khususnya terpaut pada kromosom X atau kondisi ketika sel-sel retina tidak mampu merespon warna dengan semestinya.


Klasifikasi Buta Warna 

Menurut Rokhim (2012), Kusuma (2013), dan Prasetyono (2013), berdasarkan tingkatannya buta warna dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut:

a. Anomali Trikomat (Anomalous trichromacy) 

Anomali Trikomat adalah suatu keadaan dimana tiga jenis sel kerucut tetap ada, tetapi satu di antaranya tidak normal atau tidak berfungsi dengan baik, sehingga penderita akan mengalami kesulitan membedakan nuansa warna tertentu.

Anomali Trikomat (Anomalous trichromacy)

Adapun berdasarkan kelemahan warna yang diderita, anomali trikomat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: 

  1. Protanomali (lemah merah). Terjadi karena sel kerucut warna merah tidak berfungsi dengan baik, sehingga penderita kurang sensitif atau kesulitan mengenali warna merah dan perpaduannya. 
  2. Deuteranomali (lemah hijau). Terjadi karena sel kerucut warna hijau tidak berfungsi dengan baik, sehingga penderita kurang sensitif atau kesulitan mengenali warna merah dan perpaduannya.
  3. Tritanomali (lemah biru). Terjadi karena sel kerucut warna biru tidak berfungsi dengan baik, sehingga penderita kurang sensitif atau kesulitan mengenali warna merah dan perpaduannya.

b. Dikhromat (Dichromacy) 

Dikhromat adalah jenis gangguan buta warna yang disebabkan karena salah satu dari tiga sel cone tidak ada atau tidak berfungsi. Adanya gangguan pada salah satu sel pigmen cone, akan menyebabkan terjadinya gangguan penglihatan terhadap warna-warna tertentu.

Dikhromat (Dichromacy)

Gangguan buta warna dikhromat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

  1. Protanopia (buta warna merah). Protanopia terjadi karena sel kerucut warna merah tidak ada sehingga tingkat kecerahan warna merah atau perpaduannya menjadi berkurang. Protanopia disebabkan karena tidak adanya photoreseptor retina merah pada mata. Penderita protanopia tidak mampu mengenali warna merah dan mata penderita hanya mampu melihat panjang gelombang cahaya rendah dari 400 sampai 650 nm. Penderita buta warna protanopia akan sulit ditemukan, karena penderita buta warna protanopia hanya ada 1% dari seluruh penduduk dunia. 
  2. Deuteranopia (buta warna hijau). Deuteranopia terjadi karena sel kerucut warna hijau tidak ada sehingga tingkat kecerahan warna hijau atau perpaduannya menjadi berkurang. Deuteranopia disebabkan karena tidak adanya photoreseptor retina hijau pada mata. Penderita buta wara deuteranopia akan kesulitan dalam membedakan warna merah dan hijau (red-green hue discrimination). 
  3. Tritanopia (buta warna biru). Tritanopia terjadi karena sel kerucut warna biru tidak ada sehingga tingkat kecerahan warna biru atau perpaduannya menjadi berkurang. Tritanopia adalah gangguan penglihatan warna yang disebabkan karena tidak adanya short-wave length cone. Penderita buta warna tritanopia akan kesulitan dalam membedakan warna biru dan kuning.

c. Monochromat (Monochromacy) 

Monochromat adalah kondisi retina mata yang mengalami kerusakan total dalam merespon warna. Monochromat adalah keadaan di mana mata manusia hanya memiliki satu sel pigmen cones atau bisa juga diakibatkan tidak berfungsinya semua sel cones. Monokromasi ditandai dengan hilangnya atau berkurangnya semua penglihatan warna, sehingga yang terlihat hanya putih dan hitam. Jenis buta warna ini prevalensinya sangat jarang.

Monochromat (Monochromacy)

Gangguan buta warna monochromat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 

  1. Rod monochromacy (typical). Rod monochromacy (typical) merupakan jenis buta warna yang sangat jarang terjadi. Nama lainnya adalah akromatopsia. Jenis buta warna ini disebabkan karena ketidakmampuan mata dalam membedakan warna sebagai akibat dari tidak berfungsinya semua cones retina. Penderita rod monochromacy tidak mampu dalam membedakan warna sehingga penderita hanya mampu melihat hitam, putih dan abu-abu. 
  2. Cone monochromacy (atypical). Cone monochromacy (atypical) adalah tipe monochromacy yang disebabkan karena tidak berfungsinya dua sel cones pada mata. Penderita cone monochromacy masih bisa untuk melihat warna tertentu, karena terdapat satu sel cones yang masih berfungsi.


Faktor Penyebab Gangguan Buta Warna 

Gangguan penglihatan buta warna dapat disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor genetika maupun faktor lainnya. Menurut Kusuma (2013), beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab gangguan penglihatan buta warna adalah sebagai berikut: 

  1. Penyakit kronis yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan warna termasuk penyakit diabetes melitus, retinitis pigmentosa, leukemia, penyakit hati, alkoholisme kronis, anemia sel sabit, degenerasi makula, penyakit parkinson, glaukoma, multiple sclerosis, dan alzheimer. 
  2. Kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan area tertentu pada otak atau mata dapat menyebabkan gangguan penglihatan warna. 
  3. Obat-obatan seperti obat tuberkulosis, barbiturat, obat tekanan darah tinggi, antibiotik, dan beberapa obat untuk mengobati gangguan saraf dapat menyebabkan gangguan pada saraf mata. 
  4. Bahan kimia industri seperti karbon disulfida, karbon monoksida, dan beberapa bahan yang mengandung timbal juga dapat menyebabkan gangguan penglihatan warna.
  5. Usia lanjut (usia di atas 60 tahun), terjadi perubahan fisik yang mungkin mempengaruhi kemampuan mata dalam melihat warna.


Uji/Tes Buta Warna 

Tes atau pengujian yang biasa dilakukan untuk mengetahui seseorang buta warna atau tidak dilakukan dengan beberapa metode. Menurut Ilyas (2003), terdapat tiga jenis metode berbeda yang biasa digunakan dalam tes buta warna, yaitu:

a. Uji Ishihara 

Uji Ishihara

Tes buta warna Ishihara terdiri dari lembaran yang di dalamnya terdapat titik-titik dengan berbagai warna dan ukuran. Titik berwarna tersebut disusun sehingga membentuk lingkaran. Gambar titik terdiri atas warna primer yaitu merah, hijau dan biru, dengan dasar warna yang hampir sama atau abu-abu. Titik disusun akan menghasilkan pola dan bentuk tertentu (huruf atau angka) oleh orang tanpa kelainan persepsi warna. Warna titik itu dibuat sedemikian rupa sehingga orang buta warna tidak akan melihat perbedaan warna seperti yang dilihat orang normal.

Tes Ishihara dikembangkan oleh Dr. Shinobu Ishihara. Tes ini pertama kali dipublikasi pada tahun 1917 di Jepang. Sejak saat itu, tes ini terus digunakan di seluruh dunia, sampai sekarang. Tujuan uji Ishihara ini adalah untuk memeriksa ketidakmampuan seseorang untuk membedakan warna dasar seperti merah, hijau dan biru. Tes ini terutama dipakai untuk mengenal adanya cacat merah dan hijau, dan tidak dipakai untuk gangguan biru dan kuning. Tes Ishihara inilah yang paling sering digunakan dalam memeriksa penderita buta warna. Kelemahan dari penerapan Metode Ishihara adalah sifatnya yang statis, sehingga adanya kemungkinan bahwa objek pada plate Ishihara dapat dihafal oleh pasien.

Gambar-gambar pseudokromatik dalam tes Ishihara dirancang sedemikian rupa dalam empat cara, yaitu: 

  1. Transformation plates. Orang normal dapat melihat sebuah angka, tetapi orang yang memiliki gangguan penglihatan warna akan melihat angka yang berbeda. 
  2. Vanishing plates. Orang normal dapat melihat angka, tetapi orang yang memiliki gangguan penglihatan warna tidak dapat melihatnya. 
  3. Hidden-digit plates. Orang normal tidak dapat melihat angka, sedangkan orang yang memiliki gangguan penglihatan warna dapat melihatnya. 
  4. Diagnostic plates. Dirancang agar dapat dilihat oleh subjek yang normal, dimana pada penderita kelainan warna melihat satu angka lebih mudah dari angka lainnya.

b. Uji Holmgren-Thomson 

Uji Holmgren-Thomson

Penderita membuat berpasangan warna segelondong benang. Teori ini didasari Young-Helmholtz yang menyatakan terdapat 3 susunan elemen penerima warna pada retina. Menurut teori tersebut bila terdapat pada satu susunan maka akan mengakibatkan berbagai variasi warna.

Uji Holmgren-Thomson dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini: 

  1. Meletakkan 40 gelendong benang bersama-sama di depan pasien.
  2. Pilih 10 benang yang sangat mendekati master berwarna hijau terang. 
  3. Dari 30 sisa benang wol, pasien diminta mengambil 5 benang wol yang sesuai dengan master merah. 
  4. Selanjutnya dari sisa 20 benang wol, pasien diminta memilih 5 wol yang paling sesuai dengan master merah. 
  5. Catat nomor tag dari setiap pilihan dan susun nomor dengan beraturan dengan susunan terdekat dengan susunan wol master.

Bila pasien memilih warna yang membingungkan dibanding warna yang benar dikatakan bahwa penderita adalah buta warna. Contoh: Bila pasien memilih warna biru atau ungu untuk warna pink, pasien menderita buta warna merah. Bila pasien memilih hijau atau abu-abu maka dikatakan menderita buta warna hijau.

c. Uji Farnswort-Munsell 

Uji Farnsworth-Munsell

Uji Farnswort-Munsell merupakan uji yang sederhana dan efektif untuk memeriksa kemampuan melihat kecerahan yang sering dipergunakan untuk menentukan pekerjaan dan diagnosis buta warna seseorang. Alat ini terdiri dari 27 tablet warna dan terdapat 1 warna acuan yang berperan sebagai warna pertama atau terakhir. Waktu pemeriksaan yang dibutuhkan adalah 2-3 menit namun sebaiknya tidak lebih dari 8 menit. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan sinar daylight atau menggunakan iluminasi 4.800 lux.

Hasil pemeriksaan didapatkan dalam bentuk skor berdasarkan garis yang terbentuk dari titik-titik yang dihubungkan sesuai nomor tablet warna yang dibuat oleh subyek yang diperiksa. Hasil pemeriksaan yang didapatkan selain skor adalah garis sumbu gangguan penglihatan warna isokromatik yang disebut axis of confusion dan kelemahan diskriminasi warna. Skor kesalahan buta warna (Total Error Score (TES)) merupakan penilaian kesalahan pada pemeriksaan buta warna yang didapatkan dengan mengurangi setiap skor tablet warna skor terendah. Skor tablet warna adalah perbedaan antara tablet warna pertama dengan tablet warna berikutnya. Skor kesalahan total adalah jumlah dari semua skor kesalahan.

Daftar Pustaka

  • Widianingsih, Ratri. dkk. 2010. Aplikasi Tes Buta Warna Dengan Metode Ishihara Berbasis Komputer. Jurnal Mulawarman University, Vol.5, No.1.
  • Zenny. 2012. Tes Buta Warna. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
  • Akbari. 2011. Persilangan Gen Terpaut. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
  • Rokhim, A.N. 2012. Mengenal Tes Buta Warna. Yogyakarta: Rona Publishing.
  • Kusuma, Mardiansyah. 2013. Uji Kesesuaian antara Vision Tester dan Tes Ishihara pada Skrining Gangguan Penglihatan Warna. Jakarta: Universitas Indonesia.
  • Prasetyono, Sunar. 2013. Tes Buta Warna untuk Segala Tujuan. Yogyakarta: Saufa.
  • Ilyas, S. 2002. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Universitas Indonesia.
  • Ilyas, S. 2003. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Universitas Indonesia.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama