Prasangka (prejudice) adalah suatu sikap ketidak-sukaan yang kuat dan tidak berdasar, atau kebencian terhadap seseorang atau kelompok orang tertentu berdasarkan keyakinan stereotip negatif karena adanya penilaian tanpa melihat karakteristik unik dari seseorang atau sekelompok orang hanya didasari keanggotaan mereka pada kelompok tersebut. Banyak orang yang membentuk dan memiliki prasangka karena dengan berprasangka dapat memainkan sebuah peran penting untuk melindungi atau meningkatkan konsep diri atau citra diri individu.
Prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel, serta prasangka sebagai suatu evaluasi negatif seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau kelompok lain, semata-mata karena orang atau sekelompok orang itu merupakan anggota kelompok lain yang berbeda (outgroup) dari kelompoknya sendiri (ingroup).
Berikut definisi dan pengertian prasangka atau prejudice dari beberapa sumber buku:
- Menurut Baron dan Byrne (2004), prasangka adalah sikap yang biasanya negatif terhadap anggota-anggota suatu kelompok yang hanya didasari keanggotaan mereka pada kelompok tersebut.
- Menurut Gerungan (1988), prasangka adalah perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, seperti golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu.
- Menurut Liliweri (2005), prasangka adalah suatu sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotip kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan.
- Menurut Wade dan Tavris (2007), prasangka adalah ketidak-sukaan yang kuat dan tidak berdasar, atau kebencian terhadap sebuah kelompok, yang didasarkan pada stereotip yang negatif.
- Menurut Sarwono (2006), prasangka adalah sikap, emosi, atau perilaku negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang karena keanggotaannya dalam kelompok tertentu, hal ini disebabkan karena adanya penilaian tanpa melihat karakteristik unik dari seseorang atau sekelompok orang yang dinilai, tetapi penilaian dilakukan berdasarkan karakteristik kelompoknya yang menonjol.
Aspek-Aspek Prasangka
Menurut Gross (2013), prasangka terdiri dari lima aspek, yaitu:
- Antilocution, merupakan suatu pembicaraan mengarah kepada bermusuhan, memiliki sikap merendahkan secara verbal, serta memiliki lelucon rasial (perbedaan budaya dan ras) kepada seseorang atau sekelompok orang tertentu.
- Avoidance, yaitu suatu usaha untuk menjaga jarak terhadap suatu kelompok ataupun kepada seseorang dalam kelompok tersebut, akan tetapi penghindaran ini tidak menimbulkan kerugian secara aktif.
- Discrimination, merupakan suatu usaha untuk melakukan pengusiran dari suatu tempat, mengambil hak-hak sipil dan pekerjaan mereka.
- Physical Attack, yaitu melakukan kekerasan terhadap orang maupun kepada properti yang berhubungan dengan sesuatu yang diprasangkai tersebut.
- Extermination, yaitu melakukan kekerasan tanpa pandang bulu terhadap seluruh kelompok yang diprasangkai (termasuk genosida).
Sedangkan menurut Ahmadi (1991), prasangka memiliki tiga aspek utama, yaitu:
- Aspek kognitif. Aspek kognitif merupakan sikap yang berhubungan dengan hal-hal yang ada dalam pikiran. Hal ini terwujud dalam pengolahan pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang sekelompok objek tertentu.
- Aspek Afektif. Merupakan proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati, dan sebagainya yang ditujukan kepada objek tertentu.
- Aspek Konatif. Prasangka merupakan suatu tendensi/kecenderungan untuk bertindak atau berbuat sesuatu terhadap objek tertentu, misalnya kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri, dan sebagainya.
Teori-teori Prasangka
Menurut Sari (2015), terdapat beberapa teori yang dipercaya sebagai latar belakang terjadinya prasangka, yaitu sebagai berikut:
a. Teori konflik realistik
Teori ini memandang bahwa terjadinya kompetisi (persaingan) dan konflik antar kelompok dapat menimbulkan kecenderungan untuk berprasangka dan mendiskriminasikan anggota out grup. Persaingan di antara kelompok-kelompok sosial tersebut karena memperebutkan komoditas atau kesempatan berharga. Kompetisi yang terjadi akan saling mengancam dan menimbulkan permusuhan dan menciptakan penilaian yang negatif dan bersifat timbal balik.
b. Teori kategorisasi sosial
Teori ini menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial menjadi dua kategori terpisah, yaitu kelompok kita sendiri (kita) dan kelompok-kelompok lain (mereka). Kategorisasi tersebut biasa didasarkan pada persamaan atau perbedaan, yaitu persamaan dan perbedaan yang berkaitan dengan tempat tinggal, garis keturunan, warna kulit, pekerjaan dan sebagiannya.
c. Teori deprivasi relatif
Teori ini menyatakan bahwa keadaan psikologis dimana seseorang merasakan ketidakpuasan atas kesenjangan atau kekurangan subjektif yang dirasakan pada saat keadaan diri dan kelompoknya dibandingkan dengan orang lain atau kelompok lain. Keadaan ini biasa menimbulkan persepsi adanya suatu ketidak-adilan sehingga menimbulkan terjadinya prasangka.
d. Teori identitas sosial
Teori ini menyatakan bahwa prasangka biasanya terjadi disebabkan oleh in grup dan favoritisme yaitu kecenderungan untuk mendiskriminasikan dalam perlakuan yang lebih baik atau menguntungkan in grup di atas out grup. Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri. Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri individu tersebut.
Indikator Perilaku Prasangka
Menurut Abidin (1999), prasangka memiliki tiga indikator utama yaitu perilaku merendahkan intellectual, perilaku merendahkan cultural or individual attributes dan perilaku merendahkan moralitas dari individu atau kelompok yang menjadi objek dari prasangka. Indikator tersebut tidak dapat lepas dari penilaian yang dilakukan oleh kelompok satu terhadap kelompok lain. Selain itu terdapat beberapa indikator lain yang menunjukkan perilaku prasangka pada seseorang, yaitu:
- Perilaku menghindar, seseorang dengan prasangka akan cenderung berperilaku menghindar dari kelompok yang diprasangkainya atau dapat pula beranggapan bahwa kelompok yang diprasangkainya cenderung menghindar dari kelompoknya.
- Perilaku antisosial, seseorang dengan prasangka akan memandang bahwa kelompok yang diprasangkainya adalah out group dan menolak untuk melakukan kontak sosial dengan kelompok yang diprasangkainya atau dapat pula orang dengan prasangka akan beranggapan bahwa kelompok yang diprasangkainya menganggap kelompoknya adalah out group dan menolak untuk melakukan kontak sosial dengan kelompoknya.
- Perilaku kekerasan, orang dengan prasangka akan menilai bahwa kekerasan adalah suatu hal yang wajar untuk mempelakukan kelompok yang diprasangkainya atau dapat pula orang dengan prasangka menganggap bahwa kelompok yang diprasangkainya menilai bahwa kekerasan adalah suatu hal yang wajar untuk memperlakukan kelompoknya.
- Perilaku merendahkan religiusitas, seseorang dengan prasangka akan memandang rendah tingkat kereligiusitasan kelompok yang diprasangkainya atau dapat pula seseorang dengan prasangka beranggapan bahwa kelompok yang diprasangkainya memandang rendah tingkat kereligiusitasan kelompoknya.
Jenis-jenis Target Prasangka
Menurut Hogg dan Vaughan (2002), berdasarkan targetnya, prasangka dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis, antara lain yaitu sebagai berikut:
a. Sexism
Sexism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang atau kelompok lain berdasarkan pada jenis kelamin mereka. Kebanyakan korban dari sexism adalah wanita dan juga karena adanya perbedaan posisi atau jabatan antara pria dan wanita dalam dunia bisnis, pemerintahan, dan pekerjaan. Sexism terhadap wanita berawal dari stereotip masyarakat terhadap peran wanita. Pada jaman dahulu, tugas wanita adalah menjaga rumah, merawat anak-anak dan suami, sedangkan pria keluar rumah seharian untuk mencari nafkah bagi keluarga. Pekerjaan-pekerjaan tertentu yang diasosiasikan dengan pekerjaan wanita biasanya kurang dihargai. Stereotip tersebut terus berlanjut sampai sekarang, sehingga sangat sulit bagi wanita untuk mendapatkan pekerjaan yang berstatus tinggi seperti menjadi pemimpin dalam suatu organisasi.
b. Racism
Racism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang atau kelompok lain berdasarkan pada ras dan etnis mereka. Genocide yang pernah terjadi di Jerman, Yugoslavia, Irak, dan Rwanda merupakan salah satu akibat dari adanya diskriminasi. Racism berawal dari adanya stereotip terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda ras atau etnis. Pada saat sekarang, racism dilihat dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral dalam masyarakat. Walaupun demikian, racism tidak akan hilang begitu saja. Setiap orang dalam setiap generasi akan racist dalam hatinya, hanya saja cara mengekspresikannya berbeda.
c. Ageism
Ageism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang lain berdasarkan usianya. Pada kebudayaan tertentu yang menganut sistem extended family, orang yang berusia lebih tua akan dianggap sebagai orang yang bijaksana karena lebih berpengalaman, sedangkan pada nuclear family tidak demikian. Pada nuclear family, orang-orang muda dinilai lebih baik, sedangkan orang-orang tua diberi stereotype yang kurang menarik. Orang tua biasanya akan dianggap tidak berharga dan lemah dan mereka juga tidak mendapatkan hak mereka.
d. Prasangka Terhadap Homoseksual
Pada kebanyakan masyarakat, homoseksual dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dan tidak bermoral sehingga penyiksaan terhadap homoseksual dianggap legal dan dapat diterima. Pada sekitar tahun 1980-an, pemerintah Australia mengesahkan undang-undang untuk tidak melayani orang-orang yang sesat dan menyimpang salah statusnya adalah homoseksual.
e. Prasangka terhadap penderita cacat fisik
Pada jaman dahulu, prasangka dan diskriminasi terhadap penderita cacat fisik adalah mereka dianggap sebagai orang yang rendah. Akan tetapi pada saat sekarang orang-orang sudah mulai bisa menghargai penderita cacat fisik. Pada kebanyakan negara, disediakan tempat jalan khusus untuk penderita cacat fisik. Selain itu, penderita cacat fisik juga diperbolehkan untuk mengikuti ajang perlombaan Olimpiade. Pada dasarnya, orang-orang tidak mendiskriminasi penderita cacat fisik, hanya saja orang-orang merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka karena takut tidak bisa berinteraksi dengan mereka.