Istilah Wayang berasal dari kata ma hyang, wewayangan atau wayangan yang berarti menuju kepada roh spritual, dewa atau Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam buku jawa kuno memuat kata wayang yaitu ayang-ayang yang artinya gambaran fantasi tentang bayangan manusia. Wayang dalam bahasa melayu berarti bayang-bayang. Dalam bahasa Bikol dikenal kata baying, artinya barang yang dapat dilihat secara nyata. Dalam bahasa Aceh bayeng, bahasa Bugis wayang atau bayang (Lisbijanto, 2013).
Cerita wayang diambil dari buku Mahabharata dan Ramayana. Kesenian wayang sudah ada di Indonesia sejak zaman Kerajaan Hindu. Pertunjukan wayang kulit yang dapat kita lihat saat ini telah melalui beberapa perkembangan dari bentuk dan ceritanya. Awalnya wayang digunakan sebagai upacara keagamaan oleh orang Jawa, sampai pada akhirnya Islam oleh para Walisanga menggubahnya dengan tujuan digunakan sebagai media dakwah Islam.
Sebelum Agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Raja-raja Jawa pada saat itu menempatkan wayang sebagai kesenian yang mempunyai nilai yang tinggi. Dalam beberapa hal, para Raja mengambil bagian-bagian dari wayang untuk dipakai sebagai lambang keluhuran.
Menurut Amir (1997) dan Mulyana (1989), berdasarkan dari beberapa teori, asal usul wayang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Kelompok Jawa
Berdasarkan teori dari kelompok Jawa menganggap wayang-wayang berasal dari Jawa. Teori ini dikemukakan oleh beberapa ahli diantaranya Hazeu, Brandes, Rentse, Kats, dan Kruyt. Menurut Hazeu yang mengupas secara ilmiah tentang pertunjukan wayang kulit dan menyelidiki istilah-istilah sarana pertunjukan wayang kulit, yaitu: Wayang, kelir, dalang, blencong, kepyak, kotak dan cempala.
Menurut Hazeu, wayang berasal dari jawa, alasannya adalah:
- Struktur wayang diubah menurut model yang amat tua.
- Cara berbicara ki dalang (tingi rendah suaranya, bahasanya, dan ekspresi-ekspresinya) juga mengikuti tradisi yang amat tua.
- Desain teknis, gaya dan susunan lakon-lakon ini juga bersifat khas Jawa.
Brandes juga berpendapat bahwa wayang asli berasal dari Jawa. Alasannya wayang erat sekali hubungannya dengan kehidupan sosial, kultural dan religius masyarakat Jawa. Bahwa dalam wayang terdapat cerita-cerita melayu Indonesia kuno dan beberapa tokoh dalam wayang seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong berasal dari Jawa. Di samping itu, bangsa Hindu mempunyai bentuk wayang yang berbeda sekali dengan wayang Jawa. Akhirnya, Brandes menyatakan, semua istilah-istilah teknis dalam wayang adalah istilah-istilah Jawa dan bukan Sanskrit. Demikian pula Kats dan Kruyt berpendapat bahwa wayang berasal dari Jawa, disertai dengan argumentasinya masing-masing untuk menguatkan pendapatnya.
b. Kelompok India
Teori yang menganggap bahwa wayang berasal dari India dikemukakan oleh teori dari Pischel, Kram, Poensen, dan Ras. Pischel mencoba membuktikan asal usul wayang yang menurutnya dari India melalui frase kata Rupparupakam yang terdapat dari Mahabarata dan kata Ruppapanjipane yang terdapat dalam Therigata, yang keduanya yang berarti teater bayangan.
Menurut Kram, wayang adalah suatu kreasi Hindu Jawa, adapun alasan argumentasinya adalah:
- Wayang ada di Jawa dan di Bali saja, yakni dua daerah yang mengalami pengaruh kebudayaan Hindu yang paling banyak.
- India lama mengenal teater bayangan.
- Wayang menggunakan bahan-bahan cerita dari India.
Dari uraian tentang teori-teori itu berarti belum dapat ditarik kesimpulan bahwa wayang berasal dari Jawa atau India. Bukti-bukti yang menyertai itu amat lemah dan hanya berdasar perkiraan-perkiraan saja.
Jenis-jenis Wayang
Menurut Ali (2010), Ismunandar (1994) dan Sunarto (1989), terdapat beberapa jenis wayang yang ada di Indonesia, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Wayang Purwa
Kata purwa dipakai untuk membedakan wayang jenis ini dengan wayang kulit lainya. Wayang purwa atau wayang kulit purwa berarti awal (pertama). Wayang purwa diperkirakan mempunyai umur yang paling tua diantara wayang kulit lainya. Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit kerbau yang ditatah, diberi warna sesuai dengan kaidah pulasa wayang pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule, yang diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit, yang terdiri dari tuding dan gapit.
Pada umumnya lakon (cerita) yang dibawakan dalam wayang purwa diambil dari Ramayana dan Mahabarata. Bentuk wayang ini sangat berbeda dengan tubuh manusia pada umumnya dan diukir dengan sistem tertentu sehingga perbandingan (proporsi) antara bagian satu dengan lainnya seimbang. Pada mulanya bentuk wayang purwa didasarkan pada bentuk relief candi, lambat laun bentuk itu mengalami perubahan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan pribadi masyarakat Indonesia (Jawa).
berdasarkan ukurannya, wayang purwa terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
- Wayang Pedalangan. Jenis wayang pedalangan ini adalah wayang kulit yang ukuran besarnya umum dipergunakan dalam masyarakat.
- Wayang Kaper. Wayang kaper adalah ukuran wayang kulit yang terkecil. Pada umumnya wayang kaper diperuntukkan bagi anak-anak yang mempunyai bakat dalam bidang pewayangan (pedalangan).
- Wayang Kidang Kencanan. Wayang kidang kencanan adalah salah satu jenis ukuran wayang kulit yang lebih besar dari jenis wayang kaper. Jenis wayang ini juga sering disebut kencana yang berarti sedang. Maksud dari pembuatan wayang jenis ini supaya bila digunakan dalam pentas tidak terlalu berat.
- Wayang Ageng. Wayang ageng merupakan jenis ukuran wayang kulit yang terbesar dari jenis yang lain. Wayang ageng untuk keperluan pertunjukan pergelaran wayang tidak memenuhi syarat-syarat kepraktisan. Hal ini dikarenakan, wayang ini tidak sesuai dengan kekuatan dalang untuk memainkannya dengan baik selama pertunjukan semalam suntuk.
b. Wayang Gedog
Wayang gedog atau wayang panji atau wayang yang memakai cerita dari serat panji yang merupakan cerita raja-raja Jenggala, yaitu mulai dari Prabu Sri Ghataya (Subrata) sampai dengan Panji Kudalaleyan. Wayang ini mungkin telah ada sejak zaman Majapahit, wayang gedog yang kita kenal sekarang, konon diciptakan oleh Sunan Giri pada tahun 1485 pada saat mewakili Raja Demak yang sedang melakukan penyerbuan ke Jawa Timur. Sebutan wayang gedog berasal dari pertunjukan wayang gedog yang mula-mula tanpa iringan kecrek (besi), sehingga bunyi suara keprak, dog, sangat dominan. Bentuk wayang gedog ini mirip dengan bentuk wayang purwa, tetapi tidak menggunakan gelung supit urang pada tokoh-tokoh rajanya. Pada wayang jenis ini tidak diketemukan wayang-wayang raksasa dan wayang-wayang kera. Semua memakai kain kepala yang disebut hudeng gilig.
c. Wayang Madya
Wayang Madya adalah wayang kulit yang diciptakan oleh Mangkunegara IV sebagai penyambung cerita wayang purwa dengan wayang gedog. Cerita wayang madya merupakan peralihan cerita purwa ke cerita panji. Salah satu cerita wayang madya yang terkenal adalah cerita Anglingdarma. Wayang madya tidak sempat berkembang di luar lingkungan Pura Mangkunegaran. Pada umumnya wayang Madya tokoh-tokoh raja tidak memakai praba (sinar atau nimbus), suatu perhiasan yang dipakai pada punggung setiap raja, sebagai lambang kedudukannya. Cara memakai kainnya ialah dengan apa yang dinamakan banyakan (laksana tabiat angsa).
d. Wayang Calonarang
Wayang calonarang juga sering disebut sebagai wayang leyak, adalah salah satu jenis wayang kulit Bali yang dianggap angker karena dalam pertunjukannya banyak mengungkapkan nilai-nilai magis dan rahasia pangiwa dan panengen. Wayang ini pada dasarnya adalah pertunjukan wayang yang mengkhususkan lakon-lakon dari cerita calonarang. Kekhasan pertunjukan wayang calonarang ini terletak pada tarian sisiya-nya, yaitu dengan teknik permainan ngalinting dan adegan ngundang-ngundang, dimana sang dalang membeberkan atau menyebut nama-nama mereka yang mempraktekkan pangiwa.
e. Wayang Krucil
Wayang krucil pertama kali di ciptakan oleh pangeran Pekik dari Surabaya. Wayang ini terbuat dari bahan kulit dan berukuran kecil sehingga lebih sering disebut dengan wayang Krucil. Dalam perkembangannya, wayang ini menggunakan bahan kayu pipih (dua dimensi) yang kemudian dikenal sebagai wayang klithik. Di daerah Jawa Tengah, wayang krucil memiliki bentuk yang mirip dengan wayang gedog. Tokoh-tokohnya memakai dodot rapekan, berkeris, dan menggunakan tutup kepala tekes (kipas). Sedangkan di Jawa Timur, tokoh-tokohnya banyak yang menyerupai wayang kulit purwa, raja-rajanya bermahkota dan memakai praba. di Jawa Tengah, tokoh-tokoh rajanya bergelung keling atau garuda mungkur saja.
f. Wayang Kulit Betawi
Dipastikan bahwa tradisi bentuk pertunjukan wayang kulit betawi memang berasal dari Jawa. Ada ahli yang menyatakan bahwa wayang kulit masuk ke Betawi pada zaman penyerbuan Sultan Agung Hantjokrokusumo ke Mataram tahun 1682-1629. Walaupun kemungkinan besar wayang kulit betawi berasal dar Mataram, tetapi perkembangannya kemudian dalam kurun waktu puluhan tahun secara eksistensilah sama sekali tidak adanya keterikatan dengan daerah asal tradisi bentuk kesenian tersebut. Bahkan juga tidak terpengaruh tradisi bentuk pertunjukan wayang golek Sunda di Jawa Barat yang secara faktual memang banyak kesamaannya.
g. Wayang Klitik
Boneka wayang ini wujudnya pipih, walaupun tidak setipis kulit dan dibuat dari kayu. Lengan atau tangannya dibuat dari kulit sapi atau kerbau. Jenis wayang ini untuk menceritakan tanah Jawa, khususnya kerajaan Majapahit dan Pajajaran.
h. Wayang Golek
Boneka ini kebanyakan berpakaian jubah (baju panjang), tanpa berkain panjang, memakai serban (ikat kepala ala Arab), memakai sepatu, pedang, dan perlengkapan yang lainnya, digerakkan secara bebas dan terbuat dari kayu yang bentuknya bulat seperti lazimnya boneka. Cerita wayang jenis ini bersumber pada serat Menak, yang berisikan cerita Arab. Tetapi ada beberapa daerah yang menggunakan cerita yang biasa digunakan dengan jenis wayang Purwa, yaitu: Ramayana dan Mahabarata.
Alat-alat Kesenian Wayang
Alat-alat yang digunakan dalam seni wayang cukup banyak sekali. Hal ini dapat dilihat dari wayang serta seperangkat gamelan yang digunakan, dengan begitu membuat wayang sangat berbeda dengan hiburan-hiburan lainnya seperti orgen tunggal, seni tari dan seni yang lain.
Menurut Pendi (1999), alat-alat yang digunakan dalam kesenian wayang adalah sebagai berikut:
- Wayang. Wayang menurut susunannya terbagi menjadi dua yaitu: 1) Wayang sampingan adalah wayang yang selama pertunjukan di samping kiri dan kanan. Pengelompokan wayang sampingan untuk bagian kiri dan kanan sesuai dari watak dan tabiat masing-masing kelompok kanan yang bertabiat baik dan kiri bertabiat jahat. 2) Wayang Dhudahan adalah tokoh yang sedang dimainkan ditengah-tengah kelir.
- Kelir. Kelir adalah tabir dari kain putih dengan atas bawah dan di samping kiri kanan dihias warna hitam putih dengan bagian atas bawah di samping kiri kanan dihias warna hitam atau merah yang disebut pelangitan dan bagian bawah disebut pelemahan.
- Blonceng. Blonceng adalah alat penerangan untuk pengelaran wayang berupa lampu minyak. Pada umumnya menggunakan minyak kelapa karena minyak kelapa lebih tahan lama dibandingkan minyak biasa.
- Kotak. kotak ini digunakan sebagai tempat penyimpanan wayang pada pagelaran berlangsung. Kotak dipergunakan sebagai penyimpanan wayang dhudahan yang berada pada sebelah kiri dalang.
- Idig/Eblek adalah Penyikat wayang yang disusun di dalam kotak wayang.
- Cemiala yaitu alat khusus yang digunakan oleh dalang untuk memukul kotak.
- Kepyak/kecrek, dibuat dari lempengan logam yang dibuat dari besi, kuningan, perunggu dan lain sebagainya.
- Gedebong yaitu batang pisang untuk menancapkan wayang kulit pada saat dimainkan.
- Gamelan adalah seperangkat alat musik yang menonjolkan gendang dan gong setiap pertunjukan wayang selalu diiringi gamelan yang mengalunkan irama yang dimanis sesuai suasana adegan.
Selanjutnya dalam pertunjukan wayang orang diperlukan panggung yang berfungsi sebagai tempat para pemain memainkan cerita wayang. Dalam panggung pertunjukan tersebut terdapat beberapa layar yang dipakai sebagai latar belakang setiap episode/adegan. Layar yang menggambarkan suasana kerajaan untuk adegan menghadap Raja, layar yang menggambarkan yang menggambarkan suasana hutan untuk adegan perjalanan di dalam hutan, layar yang menggambarkan suasana taman untuk adegan santai di taman, dan lain sebagainya. Ada juga layar untuk menutup panggung dari penonton agar pergantian adegan tidak terlihat oleh penonton.
Panggung pertunjukan dilengkapi lampu sorot warna-warni yang dipakai yang dipakai sebagai pendukung suasana setiap adegan, memberi efek cahaya bagi setiap adegan. Selain wayang juga diperlukan tempat untuk menancapkan wayang. Dalam pertunjukan wayang orang pasti ada orang yang memerankan tokoh pewayangan. Pemain wayang orang haruslah seorang yang mempunyai ketrampilan menari dan nembang dalam hal ini sang dalang harus pandai mempermainkan seni wayang tersebut.
Daftar Pustaka
- Lisbijanto, Herry. 2013. Wayang. Yogyakarta: Graha Ilmu.
- Amir, Hazim. 1994. Nilai-nilai Etis Dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Jaya.
- Mulyana, Sri. 1989. Simbolisme dan Mistikisme Wayang; Sebuah Tinjauan Filosofis. Jakarta: Gunung Agung.
- Ali, Rif’an. 2010. Buku Pintar Wayang. Yogyakarta: Gara Ilmu.
- Ismunandar. 1994. Wayang, Asal Usul dan Jenisya. Semarang: Dahara Prize.
- Sunarto. 1989. Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta. Jakarta: Balai Pustaka.
- Pendi, Hasan. 1999. Wayang Wong Sriwedari. Yogyakarta: Yayasan Adi Karya.