Ketahanan pangan adalah sebuah kondisi ketika semua orang pada segala waktu menerima akses secara fisik, sosial ataupun ekonomi untuk mendapatkan pangan bagi seluruh anggota rumah tangga dengan kondisi pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, beragam, bergizi, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya setempat.
Konsep Ketahanan pangan (food security) mulai berkembang pada tahun 1943 ketika diadakanya conference of food and agriculture yang mencanangkan konsep secure, adequate and suitabel supply of food for everyone. Ketahanan Pangan merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya domestik.
Ketersediaan pangan dapat diwujudkan melalui proses kedaulatan pangan dan penganekaragaman pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Berikut definisi dan pengertian ketahanan pangan dari beberapa sumber buku:
- Menurut FAO (2016), ketahanan pangan adalah kondisi dimana individu atau rumah tangga menerima akses secara fisik ataupun ekonomi untuk mendapatkan pangan bagi seluruh anggota rumah tangga dan tidak berisiko kehilangan keduanya.
- Menurut FIVIMS (2005), ketahanan pangan adalah kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
- Menurut Undang-undang No.18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah sebuah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan (sustainable).
- Menurut Oxfam (2001), ketahanan pangan adalah kondisi ketika setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. Dua kandungan makna tercantum di sini yakni: ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan akses (hak atas pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).
- Menurut DEPTAN (1996), ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai dengan budaya setempat dari waktu ke waktu agar tetap hidup sehat.
Aspek-aspek Ketahanan Pangan
Terdapat tiga indikator yang menjadi subsistem pada ketahanan pangan yaitu subsistem penyediaan pangan, distribusi, dan konsumsi yang ketiganya saling mempengaruhi secara berkesinambungan. Menurut Badan Ketahanan Pangan (2005), terdapat empat aspek yang membentuk ketahanan pangan, yaitu:
- Ketersediaan pangan, yakni tersedianya pangan secara fisik pada daerah yang didapatkan dari produksi domestik, impor ataupun bantuan pangan tapi ketersediaanya lebih diutamakan dari produksi domestik.
- Akses pangan, yaitu kemampuan rumah tangga dalam memperoleh kecukupan pangan, baik berasal dari produksi sendiri maupun pembelian, barter, hadiah, pinjaman, serta bantuan atau dari kelimanya semua.
- Penyerapan pangan, dilihat dari penggunaan akan pangan oleh anggota keluarga pada masyarakat.
- Status gizi merupakan outcome dari ketahanan pangan.
Adapun menurut Saragih (1998), aspek-aspek ketahanan pangan adalah sebagai berikut:
- Aspek penyediaan jumlah pangan yang memadai untuk memenuhi permintaan pangan yang terus meningkat sebagai konsekuensi pertumbuhan penduduk, perubahan komposisi penduduk maupun karena peningkatan penduduk.
- Aspek pemenuhan tuntutan kualitas dan keanekaragaman bahan pangan untuk mengantisipasi perubahan preferensi konsumen yang semakin perhatian pada persoalan kesehatan dan kebugaran.
- Aspek tentang pendistribusian bahan-bahan pangan terhadap ruang dan waktu.
- Aspek keterjangkauan pangan (food accessibility) yakni berkaitan dengan ketersediaan bahan pangan (jumlah, kualitas, ruang dan waktu) harus dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat.
Indikator Ketahanan Pangan
Menurut Webb dan Rogers (2003), terdapat beberapa indikator ketahanan pangan nasional, yaitu sebagai berikut:
a. Indikator Ketersediaan (food availability)
Ketersediaan pangan adalah suatu kondisi seseorang dapat memenuhi kebutuhan pangan pada jumlah yang cukup aman, bergizi dan sehat yang berasal dari produksi negara sendiri ataupun impor, maupun bantuan pangan sehingga dapat terpenuhinya jumlah kalori yang diperlukan bagi kehidupan masyarakat.
b. Indikator Akses Pangan (food access)
Indikator akses pangan adalah semua individu atau rumah tangga dengan kemampuan sumber daya yang ia miliki untuk memperoleh pangan yang sesuai dengan kebutuhan gizi yang diperoleh dari produksi pangan pribadi ataupun pembelian dan bantuan pangan. Terdapat beberapa akses rumah tangga maupun individu dalam pangan yaitu:
- Akses ekonomi. Meliputi pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga.
- Akses fisik. Menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi).
- Akses sosial. Menyangkut tentang preferensi pangan.
c. Indikator Penyerapan Pangan (food utilization)
Penyerapan pangan adalah kebutuhan seseorang untuk hidup sehat dalam menggunakan pangan seperti kebutuhan akan energi, gizi, air, dan kesehatan lingkungan, pengetahuan anggota rumah tangga pada sanitasi, ketersediaan air, fasilitas layanan kesehatan, penyuluhan gizi, dan tingkat kesehatan balita sangat efektif dalam penyerapan pangan.
c. Status gizi (Nutritional status)
Status gizi ialah outcome yang berasal dari ketahanan pangan yang memiliki definisi sebagai cerminan dari kualitas hidup seseorang baik atau buruk, status gizi dihitung berdasarkan angka harapan hidup, tingkat gizi balita dan kematian bayi.
Strategi Ketahanan Pangan
Menurut Thaha, dkk (2002), terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu:
- Subsistem ketersediaan, yaitu pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan menyangkut masalah produksi, stok, impor dan ekspor, yang harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagian bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil dari waktu ke waktu.
- Subsistem distribusi, yaitu mencakup upaya memperlancar proses peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga pangan. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan daya akses masyarakat terhadap pangan yang cukup. Surplus pangan tingkat wilayah, belum menjamin kecukupan pangan bagi individu/masyarakatnya.
- Subsistem konsumsi, yaitu menyangkut pendidikan masyarakat agar mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsi individu secara optimal sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Konsumsi pangan tanpa memperhatikan asupan zat gizi yang cukup dan berimbang tidak efektif bagi pembentukan manusia yang sehat, daya tahan tubuh yang baik, cerdas dan produktif.
Menurut Hanafie (2010), strategi yang dapat diterapkan dalam rangka keberhasilan pembangunan ketahanan pangan adalah sebagai berikut:
- Pemberdayaan ketahanan pangan masyarakat.
- Pengembangan sistem dan usaha agrobisnis.
- Mewujudkan kebersamaan antara masyarakat sebagai pelaku dan pemerintah sebagai fasilitator.
- Menumbuhkan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, mengelola produksi pangan dengan baik dalam memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, dan mampu menyalurkan kelebihan produksi pangan untuk memperoleh harga yang wajar. Kesadaran masyarakat akan pentingnya penganeragaman pangan dengan mutu pangan yang dikonsumsi harus semakin meningkat dalam mewujudkan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga.
- Pemantapan koordinasi dan sinkronisasi pihak-pihak terkait dalam perencanaan, kebijakan, pembinaan, dan pengendalian.
Adapun cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan ketahanan pangan, yaitu:
- Meningkatkan daya beli masyarakat miskin dengan menaikkan tingkat produksi pangan secara keseluruhan. Peningkatan suplai pangan dan daya beli masyarakat merupakan hal yang tidak mudah karena terkait dengan kebijakan yang akan dilakukan oleh suatu negara.
- Pendistribusian kembali suplai pangan dari daerah ke daerah defisit pangan dengan menggunakan mekanisme yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya masyarakat miskin yang kekurangan pangan, selain menaikkan insentif untuk meningkatkan produksi pangan dalam jangka panjang.
Stabilitas Ketersediaan Pangan
Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan di atas cutting point dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.
Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu).
Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikator kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa, dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan pokok cukup pada umumnya makan sebanyak 3 kali per hari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa, misalnya, hanya makan dua kali per hari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari, kebanyakan rumah tangga tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok hingga panen berikutnya.
Lebih lanjut, kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan frekuensi makan (3 kali per hari disebut cukup makan, 2 kali disebut kurang makan, dan 1 kali disebut sangat kurang makan) sebagai indikator kecukupan pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Ketersediaan dan Distribusi Pangan
Ketersediaan pangan yang memadai dapat memperbesar peluang rumah tangga mengonsumsi pangan. Ketersediaan pangan diartikan sebagai kemampuan rumah tangga (desa/kota) menyediakan pangan melalui berbagai cara, antara lain dengan memproduksi pangan sendiri di lahan pertanian/perkebunan sendiri dan membeli di pasar terdekat.
Namun ketersediaan pangan yang cukup belum menjamin konsumsi pangan yang baik kalau terdapat kesenjangan distribusi pangan. Distribusi pangan dalam arti luas antara lain distribusi antar negara , daerah, golongan masyarakat (berdasarkan penghasilan), sedangkan dalam arti sempit menyangkut distribusi pangan antar anggota keluarga dalam satu rumah tangga.
Beberapa alternatif program yang dapat ditempuh berkaitan dengan ketersediaan dan distribusi pangan adalah sebagai berikut:
- Peningkatan sarana dan prasarana transportasi untuk menjamin kelancaran distribusi pangan ke berbagai wilayah.
- Pengembangan stok pangan di berbagai wilayah dengan jenis pangan yang sesuai dengan pola konsumsi masyarakat.
- Pengembangan agroindustri dan pengolahan pangan untuk mendukung upaya diversifikasi konsumsi pangan.
- Pengendalian harga pangan dan pengembangan pemasaran untuk menjamin akses rumah tangga dalam rumah tangga dalam memperoleh pangan dari pasar, terutama bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah.
- Pengawasan distribusi pangan termasuk mekanisme dan kelembagaannya, termasuk pengembangan impor dan ekspor pangan.
Daftar Pustaka
- Food and Agriculture Organization. 2016. Indonesia and FAO Partnering for Food Security and Sustainable Agricultural Development.
- FAO. 1998. Guidelines for National Food Insecurity and Vulneravbility Information and Mapping Systems (FIVIMS): Background and Principles. Committeeon World Food Security.
- Oxfam. 2001. The Impact of Rice Trade Liberization on Food Security in Indonesia, A study conducted for Oxfam. Great Britain: Oxfam.
- Badan Ketahanan Pangan. 2005. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Jakarta: Departemen Pertanian.
- Saragih, B. 1998. Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian (Kumpulan Pemikiran). Bogor: Yayasan.
- Webb, Patrick dan Rogers, Beatrice. 2003. Addressing the In in food insecurity. Occasional Paper, No.1. USAID office of food for peace.
- Thaha, R., dkk. 2002. Pangan dan Gizi. Bogor: DPP Pergizi Pangan Indonesia.
- Hanafie, Rita. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta: Andi Offset.