Tanah gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan setengah membusuk yang tertimbun dalam masa ratusan hingga ribuan tahun yang terbentuk dalam kondisi asam, dan kondisi anaerobik lahan basah dengan komposisi lebih dari 50% karbon, pasir silikat, lumut sphagnum, batang, dan akar rumput-rumputan dan sisa-sisa hewan.
Tanah gambut dikelompokkan ke dalam ordo histosol (histos = jaringan) atau sebelumnya dinamakan organosol yang mempunyai ciri dan sifat yang berbeda dengan jenis tanah mineral umumnya. Tanah gambut mempunyai sifat beragam karena perbedaan bahan asal, proses pembentukan, dan lingkungannya (Noor, 2001).
Tanah gambut mempunyai ciri yang khas yaitu mengandung serat-serat organik tinggi, berwarna coklat sampai hitam. Tanah gambut merupakan tanah dengan karakteristik yang sangat berbeda, jika dibandingkan dengan tanah lempung. Perbedaan terletak pada sifat fisik dan sifat teknisnya. Secara fisik tanah gambut dikenal sebagai tanah yang mempunyai kandungan bahan organik dan kadar air yang sangat tinggi, angka pori yang besar, dan adanya serat-serat, sedangkan secara teknis tanah gambut memiliki pemampatan yang tinggi.
Berikut definisi dan pengertian tanah gambut dari beberapa sumber buku:
- Menurut Noor (2010), tanah gambut adalah hamparan daratan morfologi dan sifat-sifatnya sangat dipengaruhi oleh keadaan bahan organik yang dikandungnya. Gambut berasal dari onggokan sisa tanaman yang tertimbun dalam masa dari ratusan sampai bahkan ribuan tahun.
- Menurut Dion dan Nautiyal (2008), tanah gambut adalah bahan berwarna hitam kecoklatan yang terbentuk dalam kondisi asam, dan kondisi anaerobik lahan basah. Gambut terdiri dari bahan organik yang sebagian terurai secara bebas dengan komposisi lebih dari 50% karbon.
- Menurut Rochayati (2005), tanah gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk oleh karena itu kandungan organiknya tinggi. Gambut sebagian besar terdiri dari pasir silikat dan sebagian lagi terdiri atas bahan-bahan organik yang berasal dari tumbuhan yang belum terdekomposisi secara sempurna.
Proses Pembentukan Tanah Gambut
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik.
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan lapisan di bawahnya berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh.
Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung. Sedangkan gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.
Karakteristik Tanah Gambut
Menurut Ratmini (2012), tanah gambut memiliki karakteristik atau sifat-sifat yaitu sebagai berikut:
a. Karakteristik fisik
Tanah gambut umumnya berwarna coklat muda hingga coklat tua sampai gelap kehitaman, sangat lunak, mudah ditusuk, mengotori tangan, bila diperas mengeluarkan cairan gelap dan meninggalkan ampas sisa tumbuhan yang didapat dari permukaan bumi hingga beberapa meter tebalnya. Endapan gambut di permukaan dapat ditumbuhi berbagai spesies tumbuhan mulai dari spesies lumut, semak hingga pepohonan besar. Gambut yang berwarna lebih gelap biasanya menunjukkan tingkat pembusukan lebih cepat. Secara makroskopis gambut tropis umumnya terdiri atas sisa-sisa akar, batang dan daun dalam jumlah yang berlimpah.
Sifat fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying). Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya. Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3 tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm3. Apabila gambut mengalami pengeringan yang berlebihan maka koloid gambut akan rusak. Bila terjadi kemarau panjang lahan gambut akan kering selamanya (irreversible drying) dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air. Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu pengeringan dan ini mengakibatkan gambut mudah terbakar dan sulit dipadamkan.
b. Karakteristik kimia
Sifat kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada sub stratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20 persen dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya.
Secara umum keasaman tanah gambut berkisar antara 3 - 5 dan semakin tebal bahan organik maka keasaman gambut meningkat. Gambut pantai memiliki keasaman lebih rendah dari gambut pedalaman. Kondisi tanah gambut yang sangat asam menyebabkan kahat hara N, P, K, Ca, Mg, B, dan Mo. Keasaman tanah gambut disebabkan oleh kandungan asam amino organik yang terdapat pada koloid gambut. Dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob menyebabkan terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat yang mengakibatkan keasaman gambut meningkat. Selain itu terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat dapat meracuni tanaman pertanian. Jika tanah lapisan bawah mengandung pirit, pembuatan parit drainase dengan kedalaman mencapai lapisan pirit akan menyebabkan pirit teroksidasi dan menyebabkan meningkatnya keasaman gambut.
Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia gambut.
c. Karakteristik Biologi
Gambut dapat memelihara daur hidrologi karena sifat hidrofilik yang kuat ke arah horizontal namun lemah ke arah vertikal. Akibatnya lapisan atas gambut sering mengalami kekeringan meskipun lahan bawahnya basah sehingga menyulitkan pasokan air untuk perakaran tumbuhan pada musim kemarau, karena sifat gambut yang kering tidak kembali bila kekeringan dalam kondisi yang ekstrem.
Klasifikasi Tanah Gambut
Menurut Agus dan Subiksa (2008), berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapan yang terjadi, gambut dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
- Gambut Ombrogen. Gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya dipengaruhi oleh air hujan.
- Gambut Topogen. Gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.
Menurut Wiratama (2012), berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
- Gambut saprik (matang), adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%.
- Gambut hemik (setengah matang), adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 - 75%. 3).
- Gambut fibrik (mentah), adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih tersisa.
Berdasarkan bahan asal atau penyusunnya, gambut dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
- Gambut lumutan (sedimentairy/sedge peat), adalah gambut yang terdiri atas campuran tanaman air (Famili Liliceae) termasuk plankton dan sejenisnya.
- Gambut seratan (fibrous/sedge peat), adalah gambut yang terdiri atas campuran tanaman sphagnum dan rumputan.
- Gambut kayuan (woody peat), adalah gambut yang berasal dari jenis pohon-pohonan (hutan tiang) beserta tanaman semak (paku-pakuan) di bawahnya.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
- Gambut Eutrofik, adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
- Gambut Mesotrofik, adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan basa-basa sedang.
- Gambut Oligotrofik, adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik.
Sedangkan berdasarkan tingkat kedalamannya, gambut dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
- Gambut dangkal (50 – 100 cm).
- Gambut sedang (100 – 200 cm).
- Gambut dalam (200 – 300 cm).
- Gambut sangat dalam (> 300 cm).
Daftar Pustaka
- Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut Potensi dan Kendala. Yogyakarta: Kanisius.
- Noor, M. 2010. Lahan Gambut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Dion, P., dan Nautiyal, C.S. 2008. Microbiology of Extreme Soils. Soil Biology 13. Berlin: Springer-Verlag Heidelberg.
- Ratmini, Sri. 2012. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Pertanian. Palembang: Jurnal Lahan Suboptimal, Vol. 1 No. 2.
- Wiratama, Ade. 2012. Eksplorasi Bakteri Potensial Sebagai Pupuk Hayati pada Lahan Gambut Bekas Terbakar dan Lahan Gambut Tidak Terbakar dari Riau. Bogor: Jurnal Kimia Lingkungan, Vol.1, No.1.