Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan (Mulia, 2007:43). Secara etimologis kata Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poli atau polus yang berarti banyak dan gamien atau gamos yang berarti perkawinan.
Pengertian poligami di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan berpoligami adalah menjalankan atau melakukan poligami (Poerwadaminto, 1984:693).
Istilah poligami dalam agama Islam dikenal dengan ta'adudu zaujah yang artinya bertambahnya jumlah istri. Adapun di dalam Hukum Islam poligami berarti suatu perkawinan yang dilakukan oleh salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan (Mughniyah, 2005:332).
Poligami dipraktekkan secara luas di kalangan masyarakat Yunani, Persia dan Mesir kuno. Poligami dalam sejarah dan kultural juga tidak dapat dipisahkan oleh budaya Patriarki, yang tidak hanya dianut oleh masyarakat arab pra-Islam tersebut dan suku-suku nomaden di Afrika bagian timur, namun juga merujuk kepada sistem yang secara historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi, di mana suami sebagai kepala rumah tangga memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas semua anggota keluarganya (Mulia, 2007:45).
Masing-masing agama mempunyai tinjauan berbeda terhadap poligami. Agama Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa, tidak terdapat pembatasan secara jelas mengenai poligami, seorang laki-laki dapat melakukan poligami tanpa ada batasan. Agama Yahudi yang diturunkan kepada Nabi Musa membolehkan laki-laki mempunyai istri banyak. Agama Nasrani dalam praktiknya menganut sistim monogami mutlak dan melarang adanya poligami.
Dalam Undang-Undang perkawinan di Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan untuk melakukan poligami, maka hukum dan juga agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, yang demikian ini, perkawinannya hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi berbagai persyaratan yang telah ditentukan dan diputuskan oleh pengadilan (Kansil, 1989:226).
Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, ketentuan yang berkaitan dengan poligami diatur pada pasal 3, 4 dan 5, yaitu sebagai berikut (Sudarsono, 1991:289):
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dihendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan-nya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Istilah poligami dalam agama Islam dikenal dengan ta'adudu zaujah yang artinya bertambahnya jumlah istri. Adapun di dalam Hukum Islam poligami berarti suatu perkawinan yang dilakukan oleh salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan (Mughniyah, 2005:332).
Sejarah Poligami
Poligami sudah berlangsung sejak jauh sebelum datangnya agama Islam. Bangsa-bangsa Eropa, Asia dan Afrika sudah berpoligami sejak lama. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islam yang melahirkan aturan tentang poligami. Bedanya, agama Islam membatasinya dalam batasan jumlah maksimal empat orang istri.Poligami dipraktekkan secara luas di kalangan masyarakat Yunani, Persia dan Mesir kuno. Poligami dalam sejarah dan kultural juga tidak dapat dipisahkan oleh budaya Patriarki, yang tidak hanya dianut oleh masyarakat arab pra-Islam tersebut dan suku-suku nomaden di Afrika bagian timur, namun juga merujuk kepada sistem yang secara historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi, di mana suami sebagai kepala rumah tangga memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas semua anggota keluarganya (Mulia, 2007:45).
Masing-masing agama mempunyai tinjauan berbeda terhadap poligami. Agama Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa, tidak terdapat pembatasan secara jelas mengenai poligami, seorang laki-laki dapat melakukan poligami tanpa ada batasan. Agama Yahudi yang diturunkan kepada Nabi Musa membolehkan laki-laki mempunyai istri banyak. Agama Nasrani dalam praktiknya menganut sistim monogami mutlak dan melarang adanya poligami.
Dasar Hukum Poligami
Hukum poligami dalam Islam adalah mubah. Poligami dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para istri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan atau direkomendasikan agar mencukupkan beristri satu orang saja (Syaltut, 1996:269).Dalam Undang-Undang perkawinan di Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan untuk melakukan poligami, maka hukum dan juga agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, yang demikian ini, perkawinannya hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi berbagai persyaratan yang telah ditentukan dan diputuskan oleh pengadilan (Kansil, 1989:226).
Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, ketentuan yang berkaitan dengan poligami diatur pada pasal 3, 4 dan 5, yaitu sebagai berikut (Sudarsono, 1991:289):
Pasal 3
(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dihendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan-nya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Syarat-syarat Poligami
Monogami adalah asas pernikahan Islam. Sedang poligami adalah hukum pengecualian dari asas, dikarenakan beberapa sebab, yaitu sebagai berikut (Zuhaily, 1991:6670-6673):a. Sebab Khusus
- Istri sakit dan tidak bisa hamil.
- Suami sangat membenci istri daripada dicerai.
- Nafsu seks suami besar sehingga istri tidak bisa mengimbangi.
b. Sebab Umum
- Jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah pria.
- Untuk mendongkrak jumlah penduduk, baik untuk perang atau mempertahankan diri dari musuh.
- Untuk kekerabatan sehingga mendukung penyebaran agama Islam.
a. Kuat imannya
Dengan keimanan hati seseorang akan kuat ketika menghadapi segala cobaan dalam rumah tangga, karena sebagai seorang suami yang berpoligami tentunya akan memimpin keluarga, membimbing, mengayomi, mendidik, dan melindungi para istri-istrinya beserta keluarganya.b. Baik akhlaknya
Akhlak sebagai salah satu pondasi dalam membina rumah tangga. Karena tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Rasa kasih sayang terhadap para istri akan lebih erat dengan akhlak, maka dari itu akhlak yang baik menjadikan suami yang ingin berpoligami dapat membina keharmonisan rumah tangganya.c. Mempunyai materi yang cukup
Selain memimpin rumah tangga, suami juga harus memenuhi segala kewajiban dan kebutuhan istri-istrinya dan anak-anaknya kelak. Oleh karena itu kebutuhan materi sangatlah penting untuk menunjang sikap adil, walaupun sikap adil tersebut dirasa berbeda-beda, namun hak istri akan tetap terpenuhi dengan bagian masing-masing.d. Jalan darurat
Syarat ini bisa jadi pintu pembuka poligami, dalam arti tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk memecahkan masalah dalam keluarga yang membawa dampak jangka panjang. Misalnya istri tidak bisa mempunyai keturunan, dengan keadaan tersebut dikhawatirkan kelak tidak ada keturunan untuk menyambung silsilah keluarga.Daftar Pustaka
- Mughniyah, Muhammad Jawad. 2005. Al-Fiqh'ala al-Mazahib al Khomsah. Jakarta: Lentera Basritama.
- Poerwadaminto, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Mulia, Siti Musdah. 2007. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Syaltut, Mahmud. 1996. Islam 'Aqidah Wa Syari'ah. Mesir: Dar al-Qalam.
- Marzuq, M. Ilham. 2009. Poligami Selebritis. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka.
- Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Sudarsono. 1991. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
- Zuhaily, Wahbah. 1991. Tafsir Munir fi al-'Aqidah wa al-Syari'ah wa al-Manhaj. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir.