Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam tanggungan waktu tertentu yang diikuti dengan pembayaran upah atau biaya sewa tanpa disertai dengan perpindahan hak milik atas barang itu sendiri. Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya adalah al-'iwadh, dalam bahasa Indonesia berarti ganti dan upah.
Pengertian ijarah menurut fatwa DSN-MUI No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah, menyebutkan bahwa ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dengan demikian akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan pada penyewa.
Pengertian ijarah dari ulama fiqih antara lain; menurut ulama Hanafiyah ijarah adalah akad atau suatu kemanfaatan dengan pengganti. Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah, bahwa ijarah adalah akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu. Adapun menurut ulama Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa ijarah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti (Syafi’i, 2001).
Berikut definisi dan pengertian ijarah dari beberapa sumber buku:
- Menurut Suhendi (2002), ijarah adalah transaksi atas suatu manfaat yang mubah berupa barang tertentu atas dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam waktu tertentu, atau transaksi atas suatu pekerjaan yang diketahui dengan upah yang diketahui pula.
- Menurut Nurhayati dan Wasilah (2013), ijarah adalah akad pemindahan hak guna dari barang atau jasa yang diikuti dengan pembayaran upah atau biaya sewa tanpa disertai dengan perpindahan hak milik.
- Menurut Antonio (2001), ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
Dasar Hukum Ijarah
Ketentuan mengenai ijarah terdapat Al-Quran, Al-Hadits, dan Ijma Ulama, antara lain yaitu sebagai berikut:
a. Al-Quran
Penjelasan Ijarah atau pembayaran upah terdapat dalam Al-Quran surat Al-Qashash ayat 26, yaitu:
Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya, orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".(Q.S. Al-Qashash:26)
Penjelasan lain terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 233, yaitu:
Artinya: "Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan".(Q.S. Al-Baqarah:233)
b. Al-Hadist
Ketentuan mengenai ijarah juga terdapat dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Ibnu Umar, yaitu:
Artinya: "Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering". (H.R. Ibn Majah)
Penjelasan lain dari Hadist riwayat 'Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri, yaitu:
Artinya: "Barang siapa memperkerjakan pekerja, Beritahukanlah upahnya". (H.R.'Abd ar-Razzaq)
c. Ijma Ulama
Umat Islam pada masa sahabat telah berijma' bahwa Ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia. Selain bermanfaat bagi sesama manusia sebagian masyarakat sangat membutuhkan akad ini, karena termasuk salah satu akad tolong-menolong.
Pakar-pakar keilmuan dan cendekiawan sepanjang sejarah di seluruh negeri telah sepakat akan legitimasi ijarah. Dari beberapa nash yang ada, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah itu disyari'atkan dalam Islam, karena pada dasarnya manusia senantiasa terbentur pada keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, manusia antara yang satu dengan yang lain selalu terikat dan saling membutuhkan.
Rukun dan Syarat Ijarah
Pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah obyek transaksinya adalah jasa. Menurut Hanafiyah, rukan dan syarat ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul, yaitu pernyataan dari orang yang menyewa dan menyewakan. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun dan syarat ijarah ada empat, yaitu Aqid (orang yang berakad), sighat, upah, dan manfaat. Adapun penjelasan dari masing-masing rukun dan syarat ijarah adalah sebagai berikut (Sabiq, 2006)):
a. Aqid (Orang yang berakad)
Orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu mu'jir dan musta'jir. Mu'jir adalah orang yang memberikan upah atau yang menyewakan. Sedangkan Musta'jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu. Bagi yang berakad ijarah di syaratkan mengetahui manfaat barang yang di jadikan akad sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan. Untuk kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan berkemampuan, yaitu kedua-duanya berakal dan dapat membedakan. Jika salah seorang yang berakal itu gila atau anak kecil yang belum dapat membedakan baik ataupun buruk , maka akad menjadi tidak sah.
b. Sighat Akad
Sighat akad adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad ijarah. Dalam Hukum Perikatan Islam, ijab diartikan dengan suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan qobul adalah suatu pernyataan yang diucapkan dari pihak yang berakad pula (musta’jir) untuk penerimaan kehendak dari pihak pertama yaitu setelah adanya ijab. Syarat-syaratnya sama dengan syarat ijab-qabul pada jual beli, hanya saja ijab dan qabul dalam ijarah harus menyebutkan masa atau waktu yang ditentukan.
c. Ujroh (upah)
Ujroh adalah sesuatu yang diberikan kepada musta'jir atas jasa yang telah diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu'jir. Adapun syarat ujroh atau upah yaitu:
- Sudah jelas/sudah diketahui jumlahnya. Karena ijarah akad timbal balik, karena itu ijarah tidak sah dengan upah yang belum diketahui.
- Pegawai khusus seperti hakim tidak boleh mengambil uang dari pekerjaannya, karena dia sudah mendapatkan gaji khusus dari pemerintah. Jika dia mengambil gaji dari pekerjaannya berarti dia mendapat gaji dua kali dengan hanya mengerjakan satu pekerjaan saja.
- Uang yang harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang yang disewa. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus lengkap.
d. Manfaat
Di antara cara untuk mengetahui ma'qud alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang. Semua harta benda boleh diakadkan ijarah di atasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Manfaat dari objek akad sewa-menyewa harus diketahui secara jelas. Hal ini dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa atau pemilik memberikan informasi secara transparan tentang kualitas manfaat barang.
- Objek ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan transaksi ijarah atas harta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga.
- Objek ijarah dan manfaatnya tidak bertentangan dengan Hukum Syara. Misalnya menyewakan VCD porno dan menyewakan rumah untuk kegiatan maksiat tidak sah.
- Objek yang disewakan manfaat langsung dari sebuah benda. Misalnya, sewa rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, dan sebagainya. Tidak dibenarkan sewa-menyewa manfaat suatu benda yang sifatnya tidak langsung. Seperti, sewa pohon mangga untuk diambil buahnya, atau sewa-menyewa ternak untuk diambil keturunannya, telurnya, bulunya ataupun susunya.
- Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang bersifat isty’mali, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulang kali tanpa mengakibatkan kerusakan zat dan pengurusan sifatnya. Sedangkan harta benda yang bersifat istihlaki adalah harta benda yang rusak atau berkurang sifatnya karna pemakaian. Seperti makanan, buku tulis, tidak sah ijarah di atasnya.
Jenis-jenis Ijarah
Menurut Antonio (2001), terdapat dua macam ijarah, yaitu Ijarah 'ala al-manafi' dan ijarah 'ala-'amaal. Adapun penjelasan dari dua jenis ijarah tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ijarah atas manfaat (Ijarah 'ala al-manafi')
Ijarah 'ala al-manafi' yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat, seperti menyewakan rumah untuk ditempati, mobil atau motor untuk dikendarai, dan lain-lain. Dalam ijarah tidak diperbolehkan menjadikan objeknya sebagai tempat yang dimanfaatkan untuk kepentingan yang dilarang oleh syara. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat mengenai akad ijarah ini dinyatakan ada. Karena akad ijarah memiliki sasaran manfaat dari benda yang disewakan, maka pada dasanya penyewa berhak untuk memanfaatkan barang itu sesuai dengan keperluannya, bahkan dapat meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain sepanjang tidak mengganggu dan merusak barang yang disewakan.
b. Ijarah atas pekerjaan (Ijarah 'ala-'amaal)
Ijarah 'ala-'amaal adalah ijarah yang objek akadnya jasa atau pekerjaan, seperti membangun gedung atau menjahit pakaian. Akad ijarah ini sangat terkait dengan maslah upah mengupah. Karena itu pembahasannya lebih dititikberatkan kepada pekerjaan atau buruh (ajir). Ajir dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu ajir khass dan ajir musytarak. Ajir khass adalah pekerja atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan secara individual dalam waktu yang telah ditetapkan, seperti pembantu rumah tangga dan sopir. Sedangkan ajir musytarak adalah seseorang yang bekerja dengan profesinya dan tidak terikat oleh orang tertentu. Dia mendapatkan upah karena profesinya, misalnya pengacara dan konsultan. Pembagian ajir mempunyai akibat terhadap tanggung jawab masing-masing.
Berakhirnya akad ijarah
Menurut Haroen (2001), akad ijarah dapat berakhir apabila telah terpenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:
- Objek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang di jahitkan hilang.
- Tenggang waktu yang di sepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh.
- Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad. Karena akad al-ijarah menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad. Karena manfaat, menurut mereka boleh diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.
- Menurut ulama Hanafiyah, apabila uzur dari salah satu pihak. Seperti rumah yang disewakan disita Negara karena terkait utang yang banyak, maka al-ijarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad al-ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak muflis, dan berpindah tempat penyewa. Misalnya, seseorang digaji untuk menggali sumur di suatu desa, sebelum sumur itu selesai penduduk desa itu pindah ke desa lain. Akan tetapi menurut jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan akad al-ijarah itu hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atas manfaat yang dituju dalam akal itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.
Daftar Pustaka
- Suhendi, Hendi. 2002. Fiqih Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
- Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2013. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
- Syafi’i, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
- Antonio, Muhammad Syafi'i. 2001. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
- Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah. Jakarta: Pena Ilmu dan Amal.
- Haroen, Nasrun. 2000. Fiqih Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.