Gadai syariah atau rahn adalah menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harga (nilai ekonomis) milik nasabah (rahin) sebagai jaminan (marhun) atas utang atau pinjaman yang diterima sehingga pihak yang menerima gadai (murtahin) memperolah jaminan atau kepercayaan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutang bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang ditentukan.
Istilah rahn berasal dari bahasa arab, yang berarti gadai, atau dikenal juga dengan istilah al-habsu. Secara etimologi, ar-rahn artinya tetap dan lama, sedangkan al-habsu berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari pembayaran dari barang tersebut. Dengan demikian makna gadai atau rahn dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan rungguhan (Syafi'i, 2000).
Menurut Sabiq (1995), pengertian gadai (rahn) menurut beberapa ulama, antara lain yaitu: 1) Ulama Syafi’iyah: Menjadikan suatu barang yang biasanya dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya. 2) Ulama Hanabilah: Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya. 3) Ulama Malikiyah: Sesuatu yang bernilai harga (mutamawaal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan atas utang yang tetap (mengikat).
Berikut definisi dan pengertian rahn atau gadai syariah dari beberapa sumber buku:
- Menurut Pasaribu dan Lubis (1996), rahn adalah sesuatu benda yang dapat dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya apabila kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarkannya dari orang yang berpiutang.
- Menurut Ansori (2006), rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu.
- Menurut Basyir (1983), rahn adalah menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara' sebagai tanggungan hutang; dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.
- Menurut Antonio (2001), rahn adalah menahan salah satu harta salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas pinjaman yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutang.
- Menurut Muhammad dan Hadi (2003), rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta (nilai ekonomis) sebagai jaminan hutang, hingga pemilik barang yang bersangkutan boleh mengambil hutang.
Landasan Hukum Gadai Syariah (Rahn)
Dasar atau landasan hukum gadai syariah atau disebut dengan rahn terdapat dalam Al-Quran, Al-Hadist, dan Ijma Ulama, yaitu sebagai berikut:
a. Al-Quran
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam Islam berdasarkan ketentuan di dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283, yaitu:
Artinya: "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan Barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai" (QS. Al-Baqarah : 283).
b. Al-Hadist
Ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad ar-rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia. Peristiwa Rasulullah SAW merahn-kan baju besinya merupakan kasus ar-rahn pertama dalam Islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh HR.Bukhari, yaitu:
Artinya: "Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi SAW membeli makanan secara tidak tunai dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya" (HR. Bukhari).
c. Ijma Ulama
Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.
Di samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari'ah Nasional No. 25/DSNMUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.
Rukun dan Syarat Gadai Syariah (Rahn)
Pada umumnya dalam aspek hukum keperdataan Islam (fiqh mu'amalah) dalam hal transaksi baik dalam bentuk jual beli, sewa-menyewa, gadai maupun yang semacamnya mempersyaratkan rukun dan syarat sah termasuk dalam transaksi gadai. Menurut Ali (2008), rukun gadai syariah atau rahn adalah sebagai berikut:
a. Aqid (orang yang berakad)
Aqid adalah orang yang melakukan akad yang meliputi dua orang yang bertransaksi, yaitu rahin (pemberi gadai), dan murtahin (penerima gadai). Hal dimaksud, didasari oleh sighat, yaitu ucapan berupa ijab qabul (serah terima antara pemberi gadai dengan penerima gadai). Untuk melaksanakan akad rahn yang memenuhi kriteria syariat Islam, sehingga akad yang dibuat oleh dua pihak atau lebih harus memenuhi beberapa rukun dan syarat.
b. Ma'qud 'alaih (barang yang diakadkan)
Ma'qud 'alaih meliputim dua hal, yaitu marhun (barang yang digadaikan), dan marhun bihi (dain) atau utang yang karenanya diadakan akad rahn. Namun demikian, ulama fikih berbeda pendapat mengenai masuknya shighat sebagai rukun dari terjadinya rahn. Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa shighat tidak termasuk sebagai rukun rahn, melainkan ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai agunan bagi pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan dan memberi utang, dan menerima barang agunan tersebut).
c. Shighat (akad gadai)
Shighat gadai tidak boleh digantungkan dengan syarat, dan tidak disandarkan kepada masa yang akan datang. Hal ini karena akad gadai menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang. Apabila akad gadai digantungkan dengan syarat atau disandarkan kepada masa yang akan datang, maka akad akan fasid seperti halnya jual beli.
Ulama fiqh menyatakan bahwa syarat-syarat rahn harus sesuai dengan rukun itu sendiri. Menurut Muttaqien (2009), syarat-syarat ar-rahn atau gadai syariah adalah sebagai berikut:
- Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum, kecakapan bertindak hukum menurut jumhur ulama adalah orang yang baligh dan berakal.
- Syarat Marhun Bih (utang) syarat dalam hal ini adalah wajib dikembalikan oleh debitur kepada kreditor, utang dapat dilunasi dengan agunan tersebut, dan utang itu harus jelas dan tertentu.
- Syarat marhun (agunan) syarat agunan menurut ahli fiqh adalah harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan besarnya utang, agunan harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan hukum Islam, agunan harus jelas dan dapat ditunjukkan, agunan milik sah debitur, agunan tidak terkait dengan pihak lain, agunan harus merupakan harta yang utuh dan agunan dapat diserahterimakan kepada pihak lain, baik materi maupun manfaatnya.
- Ulama Hanafiah mengatakan dalam akad itu ar-rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, karena akad ar-rahn sama dengan akad jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal.
Jenis-jenis Akad Perjanjian Transaksi Gadai Syariah
Menurut Syafi'i (2000), akad yang digunakan dalam transaksi gadai syariah terdiri dari beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:
a. Qardh al-Hasan
Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif, oleh karena itu nasabah (rahin) akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadai (marhun) kepada bank (murtahin). Adapun ketentuannya adalah:
- Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual, seperti emas, barang elektronik, dan lain sebagainya.
- Karena bersifat sosial, maka tidak ada pembagian hasil. Murtahin hanya diperkenankan untuk mengenakan biaya administrasi kepada rahin.
b. Mudharabah
Akad yang diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif. Seperti usaha pengelolaan lainnya, akad ini memiliki tiga rukun, yaitu:
- Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
- Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
- Pelafalan perjanjian.
c. Ba'i Muqayyadah
Akad ini diberikan kepada nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif, seperti pembelian alat kantor atau modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga dapat menggunakan akad jual beli untuk barang atau modal kerja yang diinginkan oleh rahin. Barang gadai adalah barang yang dimanfaatkan oleh rahin ataupun murtahin.
d. Ijarah
Akad ijarah adalah akad yang objeknya merupakan penukaran manfaat harta benda pada masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan seseorang menjual manfaat barang. Dalam akad ini ada kebolehan untuk menggunakan manfaat atau jasa dengan sesuatu penggantian berupa kompensasi.
Mekanisme Operasional Gadai Syari'ah (Rahn)
Mekanisme operasional gadai merupakan implementasi dari rahn yang dijalankan di pegdaian syariah sesuai dengan perjanjian yang ada. Berjalannya perjanjian gadai sangat ditentukan oleh banyak hal. Antara lain adalah subyek dan obyek perjanjian gadai. Subyek perjanjian gadai adalah rahin (yang menggadaikan barang) dan murtahin (yang menahan barang gadai). Obyeknya ialah marhun (barang gadai) dan utang yang diterima rahin.
Ketentuan atau menaknisme terkait operasional gadai syariah (rahn) diatur dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 25/DSNMUI/III/2002 tentang Rahn. Adapun ketentuan-ketentuan pokok dalam fatwa tersebut adalah sebagai berikut:
- Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
- Marhun dan manfaatnya tetap milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
- Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahn, namun dapat juga dilakukan oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan tetap menjadi kewajiban rahin. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
Apabila terjadi penjualan atas marhun, ketentuannya adalah sebagai berikut:
- Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi hutangnya.
- Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
- Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
- Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
- Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajiban atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Secara teknis kegiatan operasional pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
- Barang yang digadaikan (mahrun) mahrun dapat berupa benda yang bergerak maupun tidak bergerak asalkan barang tersebut dapat dijual dan diambil manfaatnya. Di pegadaian syariah barang yang dapat digadai antara lain: emas, laptop, motor, sepeda, mobil, tanah dan benda lain yang memiliki manfaat dan nilai jual.
- Pemeliharaan mahrun, pemeliharaan mahrun menjadi tanggung jawab dari rahin, karena mahrun merupakan milik dari rahin sehingga biaya pemeliharaan mahrun dibebankan kepada rahin.
- Resiko atas kerusakan mahrun, apabila terjadi kehilangan mahrun atau terjadi kerusakan maka resiko akan ditanggung oleh murtahin sebagai penjaga barang jaminan gadai.
- Pemanfaatan mahrun, murtahin tidak boleh mengambil manfaat dari mahrun, hal ini karena murtahin diberi amanat untuk menjaga mahrun, tidak untuk mengambil manfaat dari mahrun tersebut.
- Pelunasan mahrun, apabila rahin tidak membayarkan mahrun maupun mencicilnya maka murtahin berhak melakukan pelelangan terhadap mahrun.
- Pelelangan mahrun, apabila rahin tidak kunjung membayar utang atau melakukan perpanjangan hingga jatuh tempo mahrun maka murtahin berhak melakukan pelelangan terhadap mahrun tersebut, sisa hasil lelang akan menjadi milik rahin, namun apabila sisa hasil lelang tidak diambil dalam waktu satu tahun makan akan disalurkan kepada badan zakat yang telah bekerjasama dengan pegadaian.
Daftar Pustaka
- Pasaribu, Chairuman dan Lubis, Suhrawardi K. 1996. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
- Ansori, Abdul Ghofur. 2006. Gadai Syariah di Indonesia, Konsep, Implementasi dan Intitusional. Yogyakarta: Gadjah Mada University PRESS.
- Syafi'i, Rahmat. 2000. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
- Basyir, Ahmad Azhar. 1983. Hukum Islam tentang Riba Utang Piutang Gadai. Bandung: Al Ma'arif.
- Antonio, Muhammad Syafi'i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Pres.
- Muhammad dan Hadi, Sholikhul. 2003. Pegadaian Syariah: Suatu Alternatif Konstruksi Pegadaian Nasional. Jakarta: Salemba Diniyah.
- Sabiq, Sayyid. 1995. Al-Fiqh As-Sunnah. Beirut: Dar Al-Fikr.
- Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
- Muttaqien, Dada. 2009. Aspek Legal Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Safira Insani Press.